POLITIK KEKUASAAN PREMANISME
Tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam
suatu perebutan kekuasaan dibutuhkan sebuah taktik atau siasah, baik dalam
kehidupan bernegara maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Sebuah taktik
tersebut biasa kita sebut dengan nama politik.
Dilihat dari segi etimologis,
pengertian politik adalah suatu proses dan sistem penentuan dan pelaksanaan
kebijakan yang berkaitan erat dengan warga negara dalam suatu wilayah atau
negara. Tetapi sebenarnya pengertian politik sendiri cukup luas, tergantung
dari sudut pandang atau paradigmanya. Bisa dilihat dari politik sebagai suatu
pemerintahan, bisa sebagai suatu kehidupan publik, dan bisa juga diartikan
sebagai sebuah studi kekuasaan. Tidak hanya terbatas dalam suatu pemerintahan
pusat saja, tetapi dalam suatu sistem pemerintahan terkecilpun seperti
contohnya di Desa juga memerlukan yang namanya taktik politik.
Saya akan memaparkan sedikit tentang
politik kekuasaan pada saat pemilihan Kepala Desa di sebuah Desa di Kab.
Boyolali (Off the Record). pada tahun 2007 silam. pada pemilihan Kepdes
tersebut terdapat dua kandidat yang mencalonkan diri, yaitu Bpk.Karim(nama
samaran) dan Bpk.Wawan setiawan. Dimana bpk.karim adalah mantan kepala desa
tersebut yang masih berambisi menduduki jabatan Kepdes. Sebenarnya dia adalah
sosok pribadi yang dalam kehidupannya erat dengan dunia Premanisme, katakan
saja dia adalah seorang preman yang menguasai desa tersebut. Realitanya dunia
premanisme itu selalu dalam suasana yang tidak kondusif, suka bertindak
anarkis, dan ingin menang sendiri. Jika difikir secara nalar, tidak ada satu
masyarakatpun yang ingin memiliki seorang pemimpin “preman”. Karena pasti
kedepannya tidak akan membawa kebaikan bagi warga, justru bertindak sesuka
hati. Tetapi pada kenyataanya, bpk. Karim yang notabene sebagai preman ini menang
lagi dalam pemilihan Kepdes untuk yang kedua kalinya. Mengapa hal ini bisa
tejadi?
Justru Latar belakang preman itulah yang dimanfaatkan oleh bpk.Karim
untuk memenangkan pemilihan Kepdes kali ini. Jika dengan cara politik uang itu
sudah biasa, lawannyapun mungkin bisa menandingi. Eksrtrimnya, dia menggerakkan
antek-anteknya di berbagai dusun untuk mengintimidasi dan mengancam masyarakat
agar memilih dia. Tidak tanggung-tanggung, satu hari sebelum hari H dia tidak
hanya melancarkan serangan fajar dengan uang, tetapi dia juga menodongkan
pistol dan senjata lainnya untuk mendapatkan persetujuan mereka. Apa mau
dikata, para wargapun tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti kemauan bpk.
Karim. Karena taruhannya adalah nyawa mereka. Padahal sebenarnya masyarakat di
Desa itu sama sekali tidak mendukungnya, tetapi lagi-lagi masyarakat tidak bisa
berbuat apa-apa. Dan pada akhirnya, pemilihan kepdes tersebut dimenangkan oleh
bpk.karim dengan selisih 11 angka dari bpk.wawan, padahal dia adalah harapan
para warga tetapi kenyataanya tidak sesuai harapan.
Sebenarnya dari pihak bpk. Wawan juga sudah berusaha menekan tindakan
curang bpk. Karim, entah kenapa tidak ada tindak lanjut dari “pihak yang
berwajib”. Bisa jadi ada “kong kalikong” diantara keduannya.
Dalam analisis ini saya menggunakan kerangka
berfikir paradigma politik sebagai studi kekuasaan, dimana politik itu sendiri
memiliki pengertian perjuangan untuk mendapatkan, menjalankan, mengontrol dan
bagaimana menggunakan sebuah kekuasaan. Dalam artian sebuah “kekuasaan politik”
yang berarti kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber, pengaruh yang dimiliki
untuk mempengaruhi prilaku pihak lain sehingga pihak lain tersebut berperilaku
dengan kehendak yang mempengaruhi.
Kembali pada latar belakang masalah, dalam kasus politik ini sesuai
dengan landasan pemikiran yang saya sebutkan tadi, yaitu tentang kekuasaan
politik. Bpk. Karim adalah seorang preman yang menguasai salah satu desa di
Kab.Boyolali(Off the Record). Realitanya dunia premanisme itu selalu
dalam suasana yang tidak kondusif, suka bertindak anarkis, dan ingin menang
sendiri. Tetapi kenapa dia bisa terpilih menjadi Kepala Desa lagi? Disinilah
dia menggunakan kekuasaan politik untuk mempertahankan atau mendapatkan apa
yang ia inginkan. Dia memiliki kekuasaan karena statusnya sebagai seorang
preman yang disegani, tak ada yang berani menentangnya. Dia menggunakan
kesempatan itu untuk mewujudkan keinginanya, jika dengan cara yang biasa-biasa
saja tidak bisa, maka ia menggunakan cara pemaksaan atau kekerasan. Dimana
dalam teori kekuasaan politik disebut dengan coersive, yaitu suatu cara untuk
mempengaruhi dan menguasai seseorang untuk melakukan sesuatu tetapi dengan cara
yang tidak syah dan tidak memiliki legitimasi.
Berhubung masyarakat desa garangan masih banyak yang berpindidikan
rendah, maka hal semacam itu secara mudah terjadi dengan tidak adanya
perlawanan, atau dalam pepatah jawa biasa disebut dengan “nrimo ing pandom”.
Padahal, jelas-jelas kejadian semacam ini melanggar hukum yang seharusnya
ditindak lanjuti. Sekalipun ada satu dua orang yang berani melawan atau
mengadukan kepada pihak yang berwajib, ternyata hasilnya sama saja tidak ada
respon yang positif. Disini kemungkinan besar bpk. Karim juga menggunakan
kekuasaanya untuk membungkam dan mengontrol polisi. Lagi-lagi dia menggunakan
potensi ekonominya untuk mendapatkan apa yang ia inginkan dengan cara yang
tidak syah.
Potensi-potensi seperti kekayaan yang melimpah, senjata atau kekuatan,
paksaan-paksaan, kepemilikan tanah adalah sebuah alat yang biasa dipakai dalam
pencapaian politik kekuasaan . seperti halnya yang dilakukan oleh bpk. Karim.
Ia memiliki kekayaan untuk memperoleh sumber-sumber, masyarakat yang sekiranya
menolak untuk memilihnya, cukup dengan dikasih uang belanja saja sudah menurut.
Terlebih lagi jika menggunakan potensi kekuatan atau senjata, dimana status ia
sendiri adalah sebagai seorang preman yang memang sudah memiliki kekuatan dan
anak buah, maka akan lebih mudah baginya untuk mendapatkan persetujuan dari
masyarakat.
Pada akhirnya, setelah ia mendapatkan kekuasaan politik maka ia juga akan
berusaha mencari tahu bagaimana cara untuk mempertahankan posisi tersebut.
Entah dengan mengandalkan dimensi potensialnya tadi atau dengan cara-cara yang
lainnya. Tidak perduli apakah ia bisa menjalankan fungsi-fungsinya sebagai
seorang pemimpin.
Tidak terbayangkan bahwa hal semacam tadi benar-bernar terjadi di suatu
sistem pemerintahan Desa yang potensi kekuasaanya tidak begitu besar. Lalu
begaimanakah dengan sistem pemerintahan pusat yang menjadi sentralnya ajang
perebutan kekuasaan politk?
Tentunya sebagai warga negara yang baik, kita semua tidak menginginkan
hal semacam itu terjadi. Yang kita idam-idamkan adalah sebuah politik yang
bersih dan jujur, sehingga mereka yang menjadi pemimpinpun dapat memajukan dan
mensejahterakan kehidupan rakyatnya. Janganlah melihat politik dari cara
pandang kekuasaan dan cara pandang konflik, karena semua itu sama sekali tidak
akan membawa kemaslahatan yang tiada hentinya. Tetapi mari kita kembalikan
pengertian politik dari cara pandang klasik, cara pandang fungsionalisme,
ataupun cara pandang kelembagaan. Dimana politik adalah sebuah usaha yang kita
tempuh untuk mencapai kebaikan bersama.
Untuk tercapainya kebaikan bersama, diperlukan solusi-solusi untuk
mengatasi permasalahn politik seperti tadi. Seharusnya pemerintah lebih
memperhatikan sistem pemerintahan yang kecil-kecil juga. Jangan terlalu
tersentralisasi di pemerintahan pusat, misal dengan mengirim Panwaslu yang
berasal dari pusat yang memang benar-benar independent dan memiliki
kredibilitas serta kualitas. Sehingga jika ada kecurangan-kecurangan dalam
pemilihan pemimpin tadi dapat langsung ditindak lanjuti dan segera dilaporkan
ke pusat.
Kemudian solusi yang kedua, pemerintah harus meningkatan kualitas pendidikan
masyarakat yang berada di desa-desa. Karena realitanya, masih banyak ditemui
masyarakat yang belum mengenyam pendidikan, sekalipun bersekolah masih banyak
dari mereka yang tidak bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Jika
masyarakat berpendidikan maka secara otomatis mereka juga akan memahami hal-hal
tentang perpolitikan. Sehingga mereka tahu mana yang benar dan mana yang salah,
dan budaya politik parokial pun bisa teratasi.
Dan yang tidak kalah pentingnya adalah pengawasan pemerintah terhadap
praktek suap menyuap, ataupun KKN. Karena pada kenyataanya dalam permasalahan
tadi, biarpun sudah ada masyarakat yang mengadu kepada pihak yang berwajib
tetap tidak ada tindak lanjut. Hal semacam itu indikasinya apa lagi kalo bukan
sebuah “kong kalikong”. Mereka yang sejatinya membrantas kejahatan justru malah
tercantol sendiri. Sungguh sangat nyiris jika melihat hal semacam ini, harapan
kita semua kedepannya adalah supaya terciptanya sebuah keadilan dalam hal
apapun bagi siapapun sebagaimana yang tertulis dalam pancasila sila kelima
tentang keadilan bagi seluruh rakyat Indonesi. Tetapi secara umumnya semoga
nilai-nilai Pancasila yang menjadi landasan kita semua itu dapat terwujud.
0 komentar:
Posting Komentar