Senin, 02 April 2012

Politik Kekuasaan Premanisme

0 komentar

POLITIK KEKUASAAN PREMANISME
Tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam suatu perebutan kekuasaan dibutuhkan sebuah taktik atau siasah, baik dalam kehidupan bernegara maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Sebuah taktik tersebut biasa kita sebut dengan nama politik.
Dilihat dari segi etimologis, pengertian politik adalah suatu proses dan sistem penentuan dan pelaksanaan kebijakan yang berkaitan erat dengan warga negara dalam suatu wilayah atau negara. Tetapi sebenarnya pengertian politik sendiri cukup luas, tergantung dari sudut pandang atau paradigmanya. Bisa dilihat dari politik sebagai suatu pemerintahan, bisa sebagai suatu kehidupan publik, dan bisa juga diartikan sebagai sebuah studi kekuasaan. Tidak hanya terbatas dalam suatu pemerintahan pusat saja, tetapi dalam suatu sistem pemerintahan terkecilpun seperti contohnya di Desa juga memerlukan yang namanya taktik politik.
Saya akan memaparkan sedikit tentang politik kekuasaan pada saat pemilihan Kepala Desa di sebuah Desa di Kab. Boyolali (Off the Record). pada tahun 2007 silam. pada pemilihan Kepdes tersebut terdapat dua kandidat yang mencalonkan diri, yaitu Bpk.Karim(nama samaran) dan Bpk.Wawan setiawan. Dimana bpk.karim adalah mantan kepala desa tersebut yang masih berambisi menduduki jabatan Kepdes. Sebenarnya dia adalah sosok pribadi yang dalam kehidupannya erat dengan dunia Premanisme, katakan saja dia adalah seorang preman yang menguasai desa tersebut. Realitanya dunia premanisme itu selalu dalam suasana yang tidak kondusif, suka bertindak anarkis, dan ingin menang sendiri. Jika difikir secara nalar, tidak ada satu masyarakatpun yang ingin memiliki seorang pemimpin “preman”. Karena pasti kedepannya tidak akan membawa kebaikan bagi warga, justru bertindak sesuka hati. Tetapi pada kenyataanya, bpk. Karim yang notabene sebagai preman ini menang lagi dalam pemilihan Kepdes untuk yang kedua kalinya. Mengapa hal ini bisa tejadi?
Justru Latar belakang preman itulah yang dimanfaatkan oleh bpk.Karim untuk memenangkan pemilihan Kepdes kali ini. Jika dengan cara politik uang itu sudah biasa, lawannyapun mungkin bisa menandingi. Eksrtrimnya, dia menggerakkan antek-anteknya di berbagai dusun untuk mengintimidasi dan mengancam masyarakat agar memilih dia. Tidak tanggung-tanggung, satu hari sebelum hari H dia tidak hanya melancarkan serangan fajar dengan uang, tetapi dia juga menodongkan pistol dan senjata lainnya untuk mendapatkan persetujuan mereka. Apa mau dikata, para wargapun tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti kemauan bpk. Karim. Karena taruhannya adalah nyawa mereka. Padahal sebenarnya masyarakat di Desa itu sama sekali tidak mendukungnya, tetapi lagi-lagi masyarakat tidak bisa berbuat apa-apa. Dan pada akhirnya, pemilihan kepdes tersebut dimenangkan oleh bpk.karim dengan selisih 11 angka dari bpk.wawan, padahal dia adalah harapan para warga tetapi kenyataanya tidak sesuai harapan.
Sebenarnya dari pihak bpk. Wawan juga sudah berusaha menekan tindakan curang bpk. Karim, entah kenapa tidak ada tindak lanjut dari “pihak yang berwajib”. Bisa jadi ada “kong kalikong” diantara keduannya.
Dalam analisis ini saya menggunakan kerangka berfikir paradigma politik sebagai studi kekuasaan, dimana politik itu sendiri memiliki pengertian perjuangan untuk mendapatkan, menjalankan, mengontrol dan bagaimana menggunakan sebuah kekuasaan. Dalam artian sebuah “kekuasaan politik” yang berarti kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber, pengaruh yang dimiliki untuk mempengaruhi prilaku pihak lain sehingga pihak lain tersebut berperilaku dengan kehendak yang mempengaruhi.
Kembali pada latar belakang masalah, dalam kasus politik ini sesuai dengan landasan pemikiran yang saya sebutkan tadi, yaitu tentang kekuasaan politik. Bpk. Karim adalah seorang preman yang menguasai salah satu desa di Kab.Boyolali(Off the Record). Realitanya dunia premanisme itu selalu dalam suasana yang tidak kondusif, suka bertindak anarkis, dan ingin menang sendiri. Tetapi kenapa dia bisa terpilih menjadi Kepala Desa lagi? Disinilah dia menggunakan kekuasaan politik untuk mempertahankan atau mendapatkan apa yang ia inginkan. Dia memiliki kekuasaan karena statusnya sebagai seorang preman yang disegani, tak ada yang berani menentangnya. Dia menggunakan kesempatan itu untuk mewujudkan keinginanya, jika dengan cara yang biasa-biasa saja tidak bisa, maka ia menggunakan cara pemaksaan atau kekerasan. Dimana dalam teori kekuasaan politik disebut dengan coersive, yaitu suatu cara untuk mempengaruhi dan menguasai seseorang untuk melakukan sesuatu tetapi dengan cara yang tidak syah dan tidak memiliki legitimasi.
Berhubung masyarakat desa garangan masih banyak yang berpindidikan rendah, maka hal semacam itu secara mudah terjadi dengan tidak adanya perlawanan, atau dalam pepatah jawa biasa disebut dengan “nrimo ing pandom”. Padahal, jelas-jelas kejadian semacam ini melanggar hukum yang seharusnya ditindak lanjuti. Sekalipun ada satu dua orang yang berani melawan atau mengadukan kepada pihak yang berwajib, ternyata hasilnya sama saja tidak ada respon yang positif. Disini kemungkinan besar bpk. Karim juga menggunakan kekuasaanya untuk membungkam dan mengontrol polisi. Lagi-lagi dia menggunakan potensi ekonominya untuk mendapatkan apa yang ia inginkan dengan cara yang tidak syah.
Potensi-potensi seperti kekayaan yang melimpah, senjata atau kekuatan, paksaan-paksaan, kepemilikan tanah adalah sebuah alat yang biasa dipakai dalam pencapaian politik kekuasaan . seperti halnya yang dilakukan oleh bpk. Karim. Ia memiliki kekayaan untuk memperoleh sumber-sumber, masyarakat yang sekiranya menolak untuk memilihnya, cukup dengan dikasih uang belanja saja sudah menurut. Terlebih lagi jika menggunakan potensi kekuatan atau senjata, dimana status ia sendiri adalah sebagai seorang preman yang memang sudah memiliki kekuatan dan anak buah, maka akan lebih mudah baginya untuk mendapatkan persetujuan dari masyarakat.
Pada akhirnya, setelah ia mendapatkan kekuasaan politik maka ia juga akan berusaha mencari tahu bagaimana cara untuk mempertahankan posisi tersebut. Entah dengan mengandalkan dimensi potensialnya tadi atau dengan cara-cara yang lainnya. Tidak perduli apakah ia bisa menjalankan fungsi-fungsinya sebagai seorang pemimpin.


Tidak terbayangkan bahwa hal semacam tadi benar-bernar terjadi di suatu sistem pemerintahan Desa yang potensi kekuasaanya tidak begitu besar. Lalu begaimanakah dengan sistem pemerintahan pusat yang menjadi sentralnya ajang perebutan kekuasaan politk?
Tentunya sebagai warga negara yang baik, kita semua tidak menginginkan hal semacam itu terjadi. Yang kita idam-idamkan adalah sebuah politik yang bersih dan jujur, sehingga mereka yang menjadi pemimpinpun dapat memajukan dan mensejahterakan kehidupan rakyatnya. Janganlah melihat politik dari cara pandang kekuasaan dan cara pandang konflik, karena semua itu sama sekali tidak akan membawa kemaslahatan yang tiada hentinya. Tetapi mari kita kembalikan pengertian politik dari cara pandang klasik, cara pandang fungsionalisme, ataupun cara pandang kelembagaan. Dimana politik adalah sebuah usaha yang kita tempuh untuk mencapai kebaikan bersama.
Untuk tercapainya kebaikan bersama, diperlukan solusi-solusi untuk mengatasi permasalahn politik seperti tadi. Seharusnya pemerintah lebih memperhatikan sistem pemerintahan yang kecil-kecil juga. Jangan terlalu tersentralisasi di pemerintahan pusat, misal dengan mengirim Panwaslu yang berasal dari pusat yang memang benar-benar independent dan memiliki kredibilitas serta kualitas. Sehingga jika ada kecurangan-kecurangan dalam pemilihan pemimpin tadi dapat langsung ditindak lanjuti dan segera dilaporkan ke pusat.
Kemudian solusi yang kedua, pemerintah harus meningkatan kualitas pendidikan masyarakat yang berada di desa-desa. Karena realitanya, masih banyak ditemui masyarakat yang belum mengenyam pendidikan, sekalipun bersekolah masih banyak dari mereka yang tidak bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Jika masyarakat berpendidikan maka secara otomatis mereka juga akan memahami hal-hal tentang perpolitikan. Sehingga mereka tahu mana yang benar dan mana yang salah, dan budaya politik parokial pun bisa teratasi.
Dan yang tidak kalah pentingnya adalah pengawasan pemerintah terhadap praktek suap menyuap, ataupun KKN. Karena pada kenyataanya dalam permasalahan tadi, biarpun sudah ada masyarakat yang mengadu kepada pihak yang berwajib tetap tidak ada tindak lanjut. Hal semacam itu indikasinya apa lagi kalo bukan sebuah “kong kalikong”. Mereka yang sejatinya membrantas kejahatan justru malah tercantol sendiri. Sungguh sangat nyiris jika melihat hal semacam ini, harapan kita semua kedepannya adalah supaya terciptanya sebuah keadilan dalam hal apapun bagi siapapun sebagaimana yang tertulis dalam pancasila sila kelima tentang keadilan bagi seluruh rakyat Indonesi. Tetapi secara umumnya semoga nilai-nilai Pancasila yang menjadi landasan kita semua itu dapat terwujud.

0 komentar:

Posting Komentar